small

Rabu, 28 Mei 2014

Kutulis Dihati

Kutulis Di hati

Sobat…
Aku tulis namamu di langit…
Tapi awan menghapusnya.
Aku tulis namamu di pantai…
Tapi ombak menghapusnya.
Jadi aku tulis namamu di hatiku…
Untuk selamanya…

BB: Afifah Syatrie, 21 Feb 2012


Sumber : kumpulankaryapuisi.blogspot.com

Rabu, 21 Mei 2014

NERAKA, TEMPAT KEMBALIKU

NERAKA, TEMPAT KEMBALIKU
Rudi Setiawan

Kulihat tubuhku diseret dengan kejam
Oleh wajah-wajah yang bengis lagi beringas
Tanganku dirantai, kakiku dibelenggu
Tubuhku dicambuk dan dilempari dengan batu

Rasa sakit dan perih tak terperi
Namun segala siksa dan azab terus mendera
Didepanku menunggu jurang lebar yang menganga
Dipenuhi dengan batu-batu api yang menyala-nyala

Aku tak bisa lagi sambat
Mulutku telah tersumbat oleh rasa sakit yang hebat
Aku tak kuasa untuk mengeluh
Lidahku telah kelu dibalut perih yang membeku

Wajah-wajah yang bengis berkata:
Wahai Rudi inilah tempat kembalimu “Neraka”
Tempat dimana para munafik berada
Tempat kepalsuan dan semua topeng dibuka

Kau sholat hanya agar kau disebut taat
Kau berpuasa supaya kau disebut zuhud
Kau bersedekah mengharapkan gelar dermawan
Kau pergi haji agar semua orang menaruh hormat

Kau berdakwah biar semua orang menganggapmu alim
Kau berpuisi memuji Allah supaya kau disebut sang Pecinta
Kau mengobral kebaikan agar kau dimuliakan
Kau berjuang dijalan-Nya agar kau disebut mujahid

Tapi Allah Tahu bahwa semua yang kau lakukan itu palsu
Dia mengawasi semua yang tersembunyi dalam hatimu
Dia melihat segala yang terbetik dalam isi kepalamu
Wahai Rudi inilah tempat kembalimu:
“NERAKA”

Doha, 26 January 2010
http://oase.kompas.com/read/2010/02/16/21371676/Puisi-puisi.Rudi.Setiawan


Sumber : kumpulankaryapuisi.blogspot.com

KERENDAHAN HATI

KERENDAHAN HATI
Rudi Setiawan

Jangan kau sanjung puji diriku
Sebab sanjung puji itu seperti ribuan pedang
Yang menusuk-nusuk hatiku dan akan membuatnya mati
Sebaiknya kau caci maki saja diriku
Karena caci maki itu terasa bagaikan belaian bidadari
Membuatku bergairah untuk hidup dan berkarya lagi.


Sumber : kumpulankaryapuisi.blogspot.com

Rabu, 14 Mei 2014

Kereta

Kereta
Sitok Srengenge

1

Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit

2

Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih

http://oase.kompas.com/read/2012/08/05/13030471/Puisi-puisi.Sitok.Srengenge


Rabu, 07 Mei 2014

PUISI CECAK UNTUK KEKASIHNYA

PUISI CECAK UNTUK KEKASIHNYA
Rudi Setiawan

Diajeng,
Tembok putih ini menjadi saksi bisu
Kisah kasih kita berdua
Saat kita merayapinya bersama-sama
Berburu Nyamuk (penghisap darah)
Berburu Wereng (hama perusak)
Dan sesekali menangkap kecoak (yang mengotori perkantoran)

Diajeng
Dinding ini adalah layar kehidupan kita
Tempat kita berpetualang sepanjang waktu
Membersihkannya dari serangga-serangga
Yang berusaha mengotorinya

Diajeng
Kemarin sudah kuingatkan kau
Jangan berburu diatas lantai
Lantai bukan habitat kita
Lantai tempat berbahaya bagi kita berdua

Diajeng
Mestinya kau tahu, bahwa diatas lantai
Ada kucing Garong yang selalu mengintai
Yang setiap saat bisa menerkam kita
Dari berbagai penjuru

Diajeng
Maafkan aku, yang tak bisa menolongmu
Kala kucing Garong menerkammu malam tadi
Aku tak kuasa untuk melawannya
Aku tak cukup kuat untuk menandinginya
Sekali lagi maafkan aku diajeng.

Diajeng
Kini tak kudapati kau disisiku lagi
Aku mesti sendiri meredam sepi
Cicak tua yang tak lagi perkasa
Merayapi dinding yang mulai kotor dan bernoda

Doha, 10 November 2009
http://oase.kompas.com/read/2010/02/16/21371676/Puisi-puisi.Rudi.Setiawan


Sumber : karyapuisi.com