small

Selasa, 24 Juni 2014

Conscience


Conscience 

Conscience is instinct bred in the house, 
Feeling and Thinking propagate the sin 
By an unnatural breeding in and in. 
I say, Turn it out doors, 
Into the moors. 
I love a life whose plot is simple, 
And does not thicken with every pimple, 
A soul so sound no sickly conscience binds it, 
That makes the universe no worse than 't finds it. 
I love an earnest soul, 
Whose mighty joy and sorrow 
Are not drowned in a bowl, 
And brought to life to-morrow; 
That lives one tragedy, 
And not seventy; 
A conscience worth keeping; 
Laughing not weeping; 
A conscience wise and steady, 
And forever ready; 
Not changing with events, 
Dealing in compliments; 
A conscience exercised about 
Large things, where one may doubt. 
I love a soul not all of wood, 
Predestinated to be good, 
But true to the backbone 
Unto itself alone, 
And false to none; 
Born to its own affairs, 
Its own joys and own cares; 
By whom the work which God begun 
Is finished, and not undone; 
Taken up where he left off, 
Whether to worship or to scoff; 
If not good, why then evil, 
If not good god, good devil. 
Goodness! you hypocrite, come out of that, 
Live your life, do your work, then take your hat. 
I have no patience towards 
Such conscientious cowards. 
Give me simple laboring folk, 
Who love their work, 
Whose virtue is song 
To cheer God along. 

Henry David Thoreau 

Rabu, 18 Juni 2014

Farewell Love and All Thy Laws Forever

Farewell Love and All Thy Laws Forever 

Farewell love and all thy laws forever; 
Thy baited hooks shall tangle me no more. 
Senec and Plato call me from thy lore 
To perfect wealth, my wit for to endeavour. 
In blind error when I did persever, 
Thy sharp repulse, that pricketh aye so sore, 
Hath taught me to set in trifles no store 
And scape forth, since liberty is lever. 
Therefore farewell; go trouble younger hearts 
And in me claim no more authority. 
With idle youth go use thy property 
And thereon spend thy many brittle darts, 
For hitherto though I have lost all my time, 
Me lusteth no lenger rotten boughs to climb. 

Sir Thomas Wyatt 

Yang Tak Selesai

Yang Tak Selesai
Ditulis oleh Budhi Setyawan
ada yang tak selesai kubaca
sisa lumar senyummu
di kaca jendela kereta
ketika engkau menuju rimba misteri
memekik terdiam pagi ini
*
ada yang tak selesai kutanya
merah matamu membelaiku
sembab bergantung telah cerita
ditingkah isak irama
mengepung risau terbata-bata
*
ada yang tak selesai kulukis
segerombolan kenangan di belukar silam
terburu perih memaksa pulang
lepas sendi-sendi angan
mengadu muram kepada hujan
*
Jakarta, 22 April 2007



Tinggalkan Disini
Ditulis oleh Budhi Setyawan 

tinggalkan di sini sesobek senja
biar kuciumi
semampai jingga
*
tinggalkan di sini secarik malam
biar kutiduri
segaris dingin
*
tinggalkan di sini seiris mimpi
biar kurenangi
sebait ilusi
*
tinggalkan di sini seutas sepi
biar kususuri
seranting arti
*
Jakarta, 19 Mei 2007


Sumber: horisononline.or.id

Rabu, 11 Juni 2014

Masa Lalu

Masa Lalu
Ditulis oleh Akbar Kasmiati


Dia hanya anak haram yang bersembunyi dalam rahim waktu
sayatannya masih meninggalkan luka
*
Dia hanya iblis dari teks kaku yang tuli dan bisu
petuahnya membawa bencana
*
Dia hanya ingin mengukur hingga sejauh mana
engkau telah meninggalkan perih yang berjejak darah dan air mata




Rindu
Ditulis oleh Akbar Kasmiati


Kusulam kenangan tentangmu
lalu kukenakan untuk menghalau
hawa sepi selepas engkau pergi
*
Sesekali kuteguk asa akan hadirmu
yang entah mengapa
hingga kini masih hangat
*
Kuhirup jejak aroma tubuhmu di udara
hingga menuntunku menatap kembali
seutas senyummu pada sebuah pigura
*
Komposisi saigon reunion Kitaro dari radio
memantik ingatanku tentang seekor gagak
bertengger di tiang listrik yang berlatar senja berkabut
sedang melantunkan sekuntum mawar yang gugur
*
Ibu, akan kurawat ini rindu
meski namamu telah terukirpada sebongkah nisan


Sumber: horisononline.or.id

Rabu, 04 Juni 2014

Sekantong Luka Dari Seorang Ibu

Sekantong Luka Dari Seorang Ibu

Ditulis oleh Irianto Ibrahim


supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri. ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesenggukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang di kemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefenisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka, ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.


Kendari, 2009