I wandered lonely as a cloud
I wandered lonely as a cloud
That floats on high o'er vales and hills,
When all at once I saw a crowd,
A host, of golden daffodils;
Beside the lake, beneath the trees,
Fluttering and dancing in the breeze.
Continuous as the stars that shine
And twinkle on the milky way,
They stretched in never-ending line
Along the margin of a bay:
Ten thousand saw I at a glance,
Tossing their heads in sprightly dance.
The waves beside them danced; but they
Out-did the sparkling waves in glee:
A poet could not but be gay,
In such a jocund company:
I gazed---and gazed---but little thought
What wealth the show to me had brought:
For oft, when on my couch I lie
In vacant or in pensive mood,
They flash upon that inward eye
Which is the bliss of solitude;
And then my heart with pleasure fills,
And dances with the daffodils.
-William Wordsworth-
Rabu, 29 Mei 2013
Senin, 27 Mei 2013
Kepada Laut | Adi Nugroho
1. Kepada Laut
Adi Nugroho
perahu kecil, jala mungil, burungburung pelikan, senyapsenyap ikan, debur ombak, batu retak, aku dan mata kosong, menunggu: kepada laut. Aku melamun saja, bertanya pada angin, darimana angan ini, yang ingin dari dingin basah asin laut kecup bunga siput, sejak kau berlayar ke arah yang tak pernah kudengar, tak ada kabar, dan aku terkapar. Kepada laut: Aku berdiri saja, melipir ke dermaga pinggir, aku mencari kerang tak karang, adakah dia melihat jejakmu yang tersapu para pembajak. Kepada laut: aku masih menunggu kebaikan hatimu, sebab arusmu menghanyutku ke pulau rindu. Kepada laut: aku hanyut
Kepada kamu, kepada laut, kepada kita yang kalut. Boleh aku berlaut menjemputmu? mengejar kau, yang membuatku larut di harihari kusut. Biar aku memelukmu lagi, dan merasakan keras debar dada ini. Kerna Debar adalah lagu yang menghantarku pada bisik, jejak, dan merah pipimu. Seperti ombak dan deburnya, yang cepatnya pergi dan dekat kembali pada ujung jemari kaki. Itulah aku yang teguh, laut akan memperpendek keraguan. Cinta terbaik mestilah tak lama menuju janji mati. Dan kau pun segera tau, pada dada siapa harus bersandar
laut pasang malam larut
entah aku atau bayangku yang terlebih dulu sampai
kukirim dulu keinginanku
lewat nyanyian ombak, dan senja laut
ketahuilah: aku menjemputmu
dan kepada laut: jagalah dia di pelukanmu
sampai aku
hilang rindu
Sumber : kumpulankaryapuisi.blogspot.com
2. Secangkir Kopi
Adi Nugroho
Tuangkan segelas kopi hitam,legam,juga malammalam. Taburkan beberapa butir gulagula, yang membuat kita gila sebab memilih bersama. Aduklah dengan perlahan seperti dulu aku mendekatimu, berhentilah disaat kau rasa cukup. Sebab gula tak patut larut seluruhnya, biarkan kita menengok kembali apa yang telah kita lakukan. Berbekaskah ia? begitu juga kita pada cinta, mengejar cinta tidak bisa selamanya, sampai kita larut habis, mati tak bersisa kita. Sebab cinta bermukim pada batasbatas yang tak mudah dilihat, rasakan ia dengan hati. Seperti mengaduk kopi yang kau rasa perlu sudahi dan tibalah waktu kau seduh di bibir gemburmu.
Ku aduk segelas kopi
bercampur ragu bertabur gula batu
kuaduk berputar dalam ruang waktu,
lalu
kehampaan ada dalam tiap putaran itu...
Gula melarut air memanis..
Terangkat sendok besi,memanja gelas kaca,
relung kaca yang kelindan
Mata air air mata yang sedusedan
larut dalam kedipan bersama gula
Secangkir kopi, merangkum elegi berbulirbulir pasir. kau hanya mengenal kopi pekat, yang sedianya kau pesan dan siapkan: lewat sandiwara kita dari mejamakan ke meja makan. Dan kau bilang “Cinta kita bermula dari meja makan, yang sewaktuwaktu perlu kita singgahi untuk membicarakan aku, kau, dan cinta” sebab itu Kau pilihkan aku kopi hitam pekat, yang membuatku terjaga dan terikat padamu. Mata yang terjaga membaca buah ceri merah di bawah hidungmu.
Pada secangkir kopi, kita sepakati perjalanan hari. Pada segelas kopi yang ketas, kita berjanji bahwa semua selesai, ketika ada cinta. Pada deras panas gelas kopi, kita mencatat tentang halhal yang akan menjadi rahasia kenangan. Sebab hidup adalah memilah kenangan. Meski nanti, resah saat segalanya pergi dan tak kembali. Dan secangkir kopi, membuat kita terjaga pada cinta.
Tak perlu kita habiskan kopi
Sebab nanti
Kita akan kembali ke sini
Meski sekadar mengusap air mata yang tertumpah
Pada meja makan tua ini
3. Kenangan
Adi Nugroho
Kenanglah
Bahwa kau pernah bersamaku, pada detik yang kita sebut kemarin, pada rentang yang kita namai masa lalu. Jika akhirnya kini, entah sejak dulu ataukah sebelum kau bersamaku, aku tak memainkan detak lagi, kenanglah, setidaknya aku pernah menyebut namamu, sesekali di lamunanmu. Sebab, mengenang adalah langkah puisi paling indah dalam mencatat masa depan. Dan kenanglah, sepuas kau ingat, sebab melupakan adalah siasia.
Secawan air hujan aku tadahkan, seluas wajah kita dulu, di antara rintihrintih genting terbentur rintikrintik hujan di horizon. Aku tertawa dan menangis dalam satu langit, bernyanyi perihal masa silam
Kenanglah
dari rahim rindu yang gembur
masa depan yang tersumbat
lalu hadir di ujung lorong, menyambutmu pada sebuah malam dingin
langit yang hampa, terang perlahan hilang, di antara matahari dan bulan
aku datang berayun di sudut lentik bulu matamu, bersiap berjalan lewat poripori kulitmu yang membuka dan menutup malu. Hendak aku berlari ke serambi hatimu, yang ingin aku bersemayam di dalamnya setelah lama kosong tak bertuan. Kenanglah sepuas kau mengenang, sebab aku telah bernisan bersemayam pada serambi kamar hatimu.
Bila kehilangan adalah keramat
Biarkan kita saling hilang dan menyilang
dari kehilanganlah aku belajar mengenang
dan mengenang membawaku pada arti memiliki
aku tak pernah tahu kau akan kemana,
dari nirwana aku hanya bisa tersenyum melihat kau memetik kenangan
4. Di tengah Hujan
Adi Nugroho
Tubuhnya basah, kuyup dikukup hujan. Dan di seberang, seorang wanita masih berdiri pada tepian jalan. Tampak suntuk terkantuk, matanya sayu seperti pilas, dibelai angin dingin malam kota. Adakah yang dinanti? Rambutnya yang melambai, kisut awutawut disapuh buih. Wajahnya tampak sedih. Bagai menahan perih lukaduka
Hendak kemana ia? Rendarenda pakaian gugur dilipur. Seakan hujan adalah atap ketenangan. Seakan hujan, mereda kemarahan. Ia Menarinari tanpa ragu dalam ketukrintik hujan. Dari lalulalang lelah sampai kota basah, tak ada lagi yang bisa menyapanya. Sungguh penuh tanya, adakah rindu semadu menunggu hujan reda. Bila tak ada yang dirindukan, haruskah mencintai hujan. Berdiam diri hirau disapu hujan yang suaranya kian sengau. Senarai wajahnya yang lunglai menjadi jawab, hujan adalah kepasrahan. Hujan tak perlu dicintai, tapi menjadi milik orangoorang yang kadung disekap rindu. saat airmata mengucur, carilah hujan yang siap berbagi kerapuhan.
Wanita itu masih kaku, dan semakin lugu di basah kota, yang lekang dari lalulalang. Kau memang sendiri, tapi pada hujan kau bisa dapatkan hilang sepi. Begitu mungkin pikirmu, dari kebas tanganmu yang mengembang. Wajahmu tengadah pasrah pada awan. Berharap hujan terus datang. Bahwa hidup boleh hampa, tapi pada hujan kau meramu rasa. Kau mengembang senyum juga, dari rimbun bulir air. Kemana lagi harus merindu, saat tak ada yang ditunggu, kecuali pada hujan. Meskikah mengutuk hujan, bila rintikrintiknya melantunkan lagu kerinduan. Dan hujan tanpa kenangan, adalah sepi paling tepi.
Wanita itu pun hilang bersama hujan.
Pada genang jalan, senyummu mengembang tenang.
Sumber: http://oase.kompas.com
KALI
KALI
Eko Roesbiantono
Jika aku ingin selalu mengalir di matamu
apakah aku kali yang mengisi samudra tiada henti
yang ingin mengisi gurun-gurun tak diingini?
Mungkin kata-kataku masih menyembunyikan mata air
yang mengalir dari sumber-sumber yang jauh di hatiku
Maka tak akan bisa kau tangkap air yang mengalir itu
mengangkut masa lalu ke ufuk biru jauh
Tak akan bisa kau tangkap air
yang mengalir dari hulu hatiku ke hilir rupaku
hanya basah sekejap
sebelum mengering
sebagai kenangan
Dan jika kau ingin mengalir menitinya
mengalir di mataku
kan kau temukan betapa sepi muara itu
dan kau tak akan pernah berlabuh
Dan perahu yang mengangkut biru makna itu
akan selalu terapung di antara cerah langit
dan gelap laut
Dan diantara keduanya kelak kan kujala biji matamu
Malang, 2013
Sumber : kumpulankaryapuisi.blogspot.com
Jumat, 24 Mei 2013
Bertahap ku ikhlaskan kau pergi
Terkoyak pita suaraku..
Jerit hatiku hanya sebatas lirih..
Dalam diam aku menangis..
Menahan luka hati yang tertoreh..
Merangkak ku rapikan kembali serpihan hati..
Perlahan ku keringkan dinding hatiku yang tersiram air mata..
Ku kumpulkan daun harapku yang berguguran..
Ku tata rapi menjadikannya rangkaian dalam bingkai kenangan..
Kini ku mampu berdiri..
Melangkah pasti meninggalkan mimpiku yang telah mati..
Bertahap ku ikhlaskan kau pergi..
Tak ingin lagi menanam angan mengharap kau kembali..
Sumber: CORETAN HATI PUJANGGA
Jerit hatiku hanya sebatas lirih..
Dalam diam aku menangis..
Menahan luka hati yang tertoreh..
Merangkak ku rapikan kembali serpihan hati..
Perlahan ku keringkan dinding hatiku yang tersiram air mata..
Ku kumpulkan daun harapku yang berguguran..
Ku tata rapi menjadikannya rangkaian dalam bingkai kenangan..
Kini ku mampu berdiri..
Melangkah pasti meninggalkan mimpiku yang telah mati..
Bertahap ku ikhlaskan kau pergi..
Tak ingin lagi menanam angan mengharap kau kembali..
Sumber: CORETAN HATI PUJANGGA
HUJAN UNTUK MU
rintik hujan menitikkan air mata, kau lihat?
tidak. kau tak lihat sebab hujan enggan berbagi kesedihan
semenjak ia tahu ada kesedihan lain di balik dinding itu,
dinding dingin yang mampu menyembunyikan tubuhmu tapi tidak panas airmatamu.
hujan ingin bercerita tentang sebuah kisah yang mampu membuatmu tertawa
tapi ternyata telingamu telah berubah jadi pelupuk mata
yang menangis yang lebih dicintai anak-anak air mata.
hujan memiliki tangan, kau tahu?
dia ingin merengkuh pundakmu yang berat
menyeka airmatamu yang lara
setelahnya mendekapmu hingga kau terlelap.
hujan akan menjagamu sepanjang malam
memunguti kesedihan-kesedihan di matamu
lalu memindahkan ke matanya, sungguh ia rela.
menjelang pagi ia akan pergi dan meninggalkan pelangi
untuk kau pandangi. dari ketinggian ia akan tersenyum memandangi wajahmu berseri-seri
meski ia menyimpan kesedihanmu yang harus ia rintikkan kembali
Tamira
tidak. kau tak lihat sebab hujan enggan berbagi kesedihan
semenjak ia tahu ada kesedihan lain di balik dinding itu,
dinding dingin yang mampu menyembunyikan tubuhmu tapi tidak panas airmatamu.
hujan ingin bercerita tentang sebuah kisah yang mampu membuatmu tertawa
tapi ternyata telingamu telah berubah jadi pelupuk mata
yang menangis yang lebih dicintai anak-anak air mata.
hujan memiliki tangan, kau tahu?
dia ingin merengkuh pundakmu yang berat
menyeka airmatamu yang lara
setelahnya mendekapmu hingga kau terlelap.
hujan akan menjagamu sepanjang malam
memunguti kesedihan-kesedihan di matamu
lalu memindahkan ke matanya, sungguh ia rela.
menjelang pagi ia akan pergi dan meninggalkan pelangi
untuk kau pandangi. dari ketinggian ia akan tersenyum memandangi wajahmu berseri-seri
meski ia menyimpan kesedihanmu yang harus ia rintikkan kembali
Tamira
Kamis, 23 Mei 2013
Sakit Hati
Puisi Galau Sakit Hati
Pada Tuhan kepertanyakan hati
Pada cinta yang tak mau memahami
Biarlah Tuhan cabut hati
Jika memang tidak pernah damai di hati
Daripada menusuk-nusuk seperti duri
Biarlah hati kembali dini hari
Tanpa cinta melebihi diri sendiri
Nyeri hati sudah berulang kali terjadi
Jawabanmu masih sama “I am sorry”
Kemarin kau ucapkan I am sorry
Besok lusa kau ulangi lagi
Tiada hari tanpa kau buat sakit hati
Tiada hari tanpa penyesalan diri
Hanya saja hati tak mudah pergi
Meninggalkanmu seorang diri
Karena hati dianugrahi cinta sejati
Namun malam ini
Kupersilahkan Tuhan cabut saja hati
Biar tak lagi sakit hati
Biarlah sepi yang menemani,
Ferdinaen 2013.
Rabu, 22 Mei 2013
=Rasaku=
Rentang waktu takkan merubah rasa di hatiku,,
Ku ungkapkan sebait kata,,
Perasaanku bukan Untaian syair Pujangga,,
namun tulus dari dasar hati dan jiwa..
Aku pergi tuk menggapai mimpi,,
bukan untuk melupakan janji..
Jangan kau sangka aku telah lupa,,
karena di sini ku masih setia..
Dalam lelah ku pendam rindu meski kadang di iringi rasa Cemburu..
Namun ku ingin engkau percaya,,
di sini aku takkan Mendua..
Jangan biarkan emosi mengusik hati,,
karena kan merubah Cinta jadi benci..
Di hatiku engkaulah harapanku tuk mendampingi Langkah dan hidupku...
=Rasaku=
by: Icha Maniez
Ku ungkapkan sebait kata,,
Perasaanku bukan Untaian syair Pujangga,,
namun tulus dari dasar hati dan jiwa..
Aku pergi tuk menggapai mimpi,,
bukan untuk melupakan janji..
Jangan kau sangka aku telah lupa,,
karena di sini ku masih setia..
Dalam lelah ku pendam rindu meski kadang di iringi rasa Cemburu..
Namun ku ingin engkau percaya,,
di sini aku takkan Mendua..
Jangan biarkan emosi mengusik hati,,
karena kan merubah Cinta jadi benci..
Di hatiku engkaulah harapanku tuk mendampingi Langkah dan hidupku...
=Rasaku=
by: Icha Maniez
Rabu, 15 Mei 2013
Harapan Hampa
Harapan Hampa
Muhammad Zakaria
Ketika duduk hanya bisa diam
Ketika jalan hanya dapat bertata saja
Aku sendiri dalam lamunan
Aku terbayang dalam bayang awan
Tidak dapat ku mengerti apa yang harus kulakukan
Rasa hampa yang tersiratkan
Ingin berbagi dalam kepiluan
Malah kehampaan yang terasakan
Ke mana aku berjalan tak menjadi nyaman
Walau dikeramain terasa kesendirian
Itu jalan hidup menjadi pilihan
Yang mungkin membuatku memacu ke depan.
19-Nov-2012
www.kabarindonesia.com
Menunggu esok
Lama kemarau itu gentayangan
Di antara kelopak hati yang risau
Menanti kabut awan
Yang sekian lama terpanggang
Siapakah sosok
Yang membukakan mata hati
Hujan telah menggebu-gebu
Daun telah mengepak-ngepak
Tapi sayang daun dan hujan
Tidak sempat berkenalan
Hingga daun kembali menunggu esok
Menunggu hujan untuk berjabat tangan
(Ferdinaen - 2009.)
Gambar: redcheekinda.wordpress.com |
Rabu, 08 Mei 2013
Kamu Kenapa
gambar: otherpriceless.blogspot.com |
Kamu Kenapa
kamu
kenapa?
mendadak dingin, mendadak gigil
tak seperti biasa
kamu
kenapa?
tak lagi mesra, tak lagi manja
tak terasa
kamu
kenapa?
mendadak angkuh, mendadak diam
tak lagi menyapa
kamu
kenapa?
tak lagi hangat, tak lagi bersahabat
jahat
kamu...
kenapa berubah?
-Mentari Meida-
Siang dan Malam
malam tak pernah menunggu pagi datang
ia ikhlas saja melaksanakan tugasnya
tak meminta ada bintang atau rembulan
malam tetap setia
hingga fajar lahir di timur
maka usai lah baktinya.
siang tak pernah menunggu petang
ia tetap terang
meski berawan meski terik
saat senja datang ia bisa pulang dengan tenang
jika suatu pagi atau petang mereka tak pernah saling menjumpai lagi
(mungkin) ketika itu Tuhan sudah jengah dengan manusia
-Mentari Meida-
240710
Kita jangan bertatap muka ya.
Aku takut.
Kita buat janji saja.
Tunggu di persimpangan, di ujung jalan itu.
Kalau kau lebih dulu menemui punggungku, lihat saja, jangan memanggil.
Begitu juga aku.
ketika aku melihat punggungmu, maka hanya akan kutatap tanpa mendekat.
Kita sudah bertemu.
Kau dan aku tahu, kita ada.
-Mentari Meida-
Mahluk Itu Bernama Sepi
Aku bertanya pada bintang
“Apa itu sepi?”
Bintang menjawab: “Tunggu lah malam pekat, saat kau lihat aku menghilang.”
Aku bertanya pada malam
“Apa itu sepi?”
Malam menjawab: “Tunggu lah pagi hari, saat kau jumpai kabut memudar.”
Aku bertanya pada kabut
“Apa itu sepi?”
Kabut menjawab: “Tunggu lah mentari terbit, saat kau lihat rona merahnya di Timur.”
Aku bertanya pada mentari
“Apa itu sepi?”
Mentari menjawab: “Saat Mentari sendiri, itu lah sepi.”
-Mentari Meida-
Satu
Tuhan, berikan lah cahaya terang pada akhir jalan ini.
semoga langkah kami yang mengarah ke sana ringan dan damai.
langkah aku dan dia.
Tuhan, berikan lah pelangi pada langit-langit gelap.
setelah hujan deras yang menimpa.
membasahi aku dan dia.
Tuhan, nanti di akhir kisah, mungkin, akan ditemui persimpangan.
setelah kami lewati jalan, meski berliku-liku.
Kumohon, sampaikan lah kami di satu tujuan yang sama.
-Mentari Meida-
Lelaki
ada apa dengan lelaki?iblis kah mereka?
yang mampu menjebak hawa dalam dosa
lalu mereka tertawa bahagia
terkutuklah kalian para kaum adam
aku wanita menyumpahi
atas nama sakit hati dan rasa kecewa
serta berbagai ribu luka
ada apa dengan lelakiyang hanya ingin bebas dan lepas
yang selalu senang lari dari masalah
kalian yang para pendosa
terkutuklah engkau
wahai para lelaki yang kucinta
biar derita menyelubungimu
tak terhapus dosa
hingga kau menuju neraka!
-Mentari Meida-
Sun & Rain falling in love
Dan, ia selalu bilang…Pelangi, yang muncul setelah Hujan reda, tak kan ada jika Mentari tak berperan serta membantu Hujan membuatnya.
Maka wajarlah jika Mentari begitu mencintai Hujan.
Yang setiap rintik gerimisnya buatkan sinarnya teduh.
Lalu, bukankah juga sebaliknya.
Ketika Hujan mencintai mentari.
Ketika ia duka dalam mendung.
Lalu menangis pada gerimis.
Maka, Mentari bantu ciptakan Pelangi.
Mentari cintai hujan.
Karena ia yang paling mengerti dukanya.
Sedihnya ditemani mendung dan tangisnya disamarkan gerimis.
Di luar ia memang bersinar.
Tapi, siapa yang tahu lukanya.
Hanya Hujan yang paling setia.
Maka, saat Mentari dan Hujan jatuh cinta
Lihatlah…
Ada Pelangi di langit sana
-Mentari Meida-
Mengapa Aku
Mengapa rumput ingin tetap hijau, meski terik mentari panas membakar.
Mengapa bunga ingin tetap mekar, meski udara membuatnya layu.
Mengapa bulan ingin tetap bersinar, meski bintang tak menemani.
Mengapa pohon ingin tetap berkembang, meski angin gugurkan daunnya.
Mengapa aku ingin tetap di sini, meski ia perlahan pergi.
-Mentari Meida-
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Ini :
-@mentarimeida,
240710,
hujan,
jatuh cinta,
kau,
kenapa,
lelaki,
mahluk,
Malam,
mentari,
nama,
satu,
sepi,
siang
Kita Berdua Duduk; Tiba-tiba Kau Bertanya
Kita Berdua Duduk; Tiba-tiba Kau Bertanya
Bunyamin F. Syarifudin
Kita berdua duduk
Tiba-tiba kau bertanya tentang Ia
Aku bilang ada, kau bilang hilang
Aku bilang di nadi, kau bilang tak berdetak
Aku bilang, ”mari kita menghela nafas dulu.”
Kau malah terengah-engah, tak sabaran
Aku bilang, ”mari kita memesan riak air untuk rasa haus kita.”
Kau malah mengeringkan kerongkongan
Aku memesan adzan yang bersembunyi di mushola-mushola
Kau memesan rintik hujan yang mengiris pelangi
Aku memesan malam yang dirindu para Molana
Kau memesan lembayung yang memerah dan bertanduk
Aku makan wafak-wafak pelipur rindu
Kau jalin huruf-huruf menjadi sihir
Kita berdua duduk
Pada sepi yang purba
Aku bilang, “mari kita cari rumah Ia, di Qalbu!”
;kau tertidur lelap
2010
http://www.pikiran-rakyat.com/node/144117?page=1
Bunyamin F. Syarifudin
Kita berdua duduk
Tiba-tiba kau bertanya tentang Ia
Aku bilang ada, kau bilang hilang
Aku bilang di nadi, kau bilang tak berdetak
Aku bilang, ”mari kita menghela nafas dulu.”
Kau malah terengah-engah, tak sabaran
Aku bilang, ”mari kita memesan riak air untuk rasa haus kita.”
Kau malah mengeringkan kerongkongan
Aku memesan adzan yang bersembunyi di mushola-mushola
Kau memesan rintik hujan yang mengiris pelangi
Aku memesan malam yang dirindu para Molana
Kau memesan lembayung yang memerah dan bertanduk
Aku makan wafak-wafak pelipur rindu
Kau jalin huruf-huruf menjadi sihir
Kita berdua duduk
Pada sepi yang purba
Aku bilang, “mari kita cari rumah Ia, di Qalbu!”
;kau tertidur lelap
2010
http://www.pikiran-rakyat.com/node/144117?page=1
Senin, 06 Mei 2013
Pusara Cinta
gambar: puisigalau.net |
Pusara Cinta
cinta
kita
menggali makam sendiri
mencari liang untuk kita tiduri nanti
pada masa yang paling abadi
pada tanah merah
yang kadang basah atau kerontang
kita tentu mencari selimut yang paling nyaman untuk menemani
sehingga nanti kita bisa indah bermimpi
rasa masih begini anomali
nama kita tak akan mengukir lagi
di nisan yang sama
kita sudah sampai di sini
aku akan mengenang, menziarahi
sekadar mempusarai
kita pernah sehati
-Dalam perjalanan ke Depok, 11 Desember 2010-
Mentari Meida
Kita Adalah Nol
kau tidak akan kehilangan
sebab kita tidak pernah punya apa-apa
tak ada yang (sungguh-sungguh) datang
dan pergi
kita tak kan pernah kehilangan
semua milikNya
milikNya
kita adalah nol
Jakarta, 3 desember 2010Mentari Meida
Aku Menulis Namamu Di Gerimis
aku menulis namamu di gerimis*
pada hujan yang turun malam-malam
atau datang kepagian
supaya kau jatuh, membaur
bersama genangan
aku menulis namamu di gerimis
biar kau mengalir
pergi jauh ke muara
pulang saja ke asalmu!
Jakarta, 2 Desember 2010
Mentari Meida
Jika Aku Ucapkan Selamat Tinggal
mungkin aku akan merindukanmu, suatu hari
ketika langit cerah. menanyai hati sendiri
bagaimana kabarmu hari ini?
mungkin aku akan merindukan kotamu
suasananya, petang yang kita gemari
atau pagi-pagi yang kita sambut dengan senyuman
aku pasti merindukan Ibu, yang selalu mendoakan
kebahagiaan kita. yang selalu mengusap ubun-ubunku
pelan-pelan setelah ia membuat Salib
antara dahi, dada, dan bahunya
mengucapkan doa-doa kristiani
yang entah bagaimana pun caranya
ia hanya mendoakan kita
jika aku mengucapkan selamat tinggal
mungkinkah kau menjadi lebih bahagia?
mungkinkah aku menyesal?
mungkinkah?
mungkin.
Jakarta, 30 November 2010 Mentari Meida
Menunggu Waktu
kita seperti menunggu waktu
menunggu, menunggu, tanpa tuju
sementara detik detik setia, seperti tak ada habisnya
mengukir kenangan kita
yang mungkin nanti tersisa
sementara kita hanya menunggu
seperti sebuah kebodohan
tapi seseorang berkata, "kau hanya ketakutan."
ketakutan yang memenjarakan
membuang-buang waktu pada yang (mungkin) menunggu di luar sana.
sayang, kita hanya menunggu karena ketakutan
yang begitu tak terkira. sementara kau kira laju?
padahal kita berjalan di tempat, dalam kabut lindap
dalam gelap tak berpelita, tanpa arah tujuan
Jakarta, 2 November 2010 Mentari Meida
Alamatpada bayu menderu
kutitipkan pesan
suatu pagi adakah kau dengar
gemerisik dedaunan lepas
sampaikah ia di alamatmu?
Kita Adalah Nol
kau tidak akan kehilangan
sebab kita tidak pernah punya apa-apa
tak ada yang (sungguh-sungguh) datang
dan pergi
kita tak kan pernah kehilangan
semua milikNya
milikNya
kita adalah nol
Jakarta, 3 desember 2010Mentari Meida
Aku Menulis Namamu Di Gerimis
aku menulis namamu di gerimis*
pada hujan yang turun malam-malam
atau datang kepagian
supaya kau jatuh, membaur
bersama genangan
aku menulis namamu di gerimis
biar kau mengalir
pergi jauh ke muara
pulang saja ke asalmu!
Jakarta, 2 Desember 2010
Mentari Meida
Jika Aku Ucapkan Selamat Tinggal
mungkin aku akan merindukanmu, suatu hari
ketika langit cerah. menanyai hati sendiri
bagaimana kabarmu hari ini?
mungkin aku akan merindukan kotamu
suasananya, petang yang kita gemari
atau pagi-pagi yang kita sambut dengan senyuman
aku pasti merindukan Ibu, yang selalu mendoakan
kebahagiaan kita. yang selalu mengusap ubun-ubunku
pelan-pelan setelah ia membuat Salib
antara dahi, dada, dan bahunya
mengucapkan doa-doa kristiani
yang entah bagaimana pun caranya
ia hanya mendoakan kita
jika aku mengucapkan selamat tinggal
mungkinkah kau menjadi lebih bahagia?
mungkinkah aku menyesal?
mungkinkah?
mungkin.
Jakarta, 30 November 2010 Mentari Meida
Menunggu Waktu
kita seperti menunggu waktu
menunggu, menunggu, tanpa tuju
sementara detik detik setia, seperti tak ada habisnya
mengukir kenangan kita
yang mungkin nanti tersisa
sementara kita hanya menunggu
seperti sebuah kebodohan
tapi seseorang berkata, "kau hanya ketakutan."
ketakutan yang memenjarakan
membuang-buang waktu pada yang (mungkin) menunggu di luar sana.
sayang, kita hanya menunggu karena ketakutan
yang begitu tak terkira. sementara kau kira laju?
padahal kita berjalan di tempat, dalam kabut lindap
dalam gelap tak berpelita, tanpa arah tujuan
Jakarta, 2 November 2010 Mentari Meida
Alamatpada bayu menderu
kutitipkan pesan
suatu pagi adakah kau dengar
gemerisik dedaunan lepas
sampaikah ia di alamatmu?
Thursday, October 14, 2010Mentari Meida
Ombak dan Perahu Kertas
aku titipkan duka pada laut
biar ia mengambang, timbul tenggelam
kamu adalah ombak
nanti datang nanti menghilang
aku perahu kertas
berlayar tanpa arah
mengikutimu saja
kadang karam kadang menerjang
bawa aku dengan arusmu
yang kencang dan tajam
sampaikan aku pada daratan
biar nanti di sana kutinggalkan
semua luka-luka
mengering
terlupakan
Ombak dan Perahu Kertas
aku titipkan duka pada laut
biar ia mengambang, timbul tenggelam
kamu adalah ombak
nanti datang nanti menghilang
aku perahu kertas
berlayar tanpa arah
mengikutimu saja
kadang karam kadang menerjang
bawa aku dengan arusmu
yang kencang dan tajam
sampaikan aku pada daratan
biar nanti di sana kutinggalkan
semua luka-luka
mengering
terlupakan
Friday, August 20, 2010
Mentari Meida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Minggu, 05 Mei 2013
Cintaku Tak Ingat Pulang
gambar: facebook.com |
Cintaku Tak Ingat Pulang
Tak ada lagi yang mengetuk pintu. Tak usah kau tunggu, menanti. Sementara aku bukan sekadar terlambat pulang, tapi lupa jalanan yang biasa dilalui denganmu, yang menderu itu. Resahku begitu tersesat namun sahaja cinta yakin kemana menuju. Tau yang kumau.
Ia hanya tak ingin pulang kerumah dimana kau menunggu gelisah.
Jakarta, 25 February 2011
@mentarimeida
Tamat
Ketika kita tinggal memori,
tak perlu ada lagi penantian tak berbatas waktu yang kau tunggu meski kau bisa, selain ajal. Pintu kututup rapat sudah. Mengintip pun angin tak kuasa. Pengap memang. Tapi hati yang lama terpenjara bernafas lega, akhirnya tak risau dikerubung gema pertanyaan yang tak pernah berujung pada jawab. Lagu mana yang harus diputar, mengantarkan engkau pulang. Aku tak pernah diajarkan, mungkin seharusnya menjadi kebiasaan masa depan, menyiapkan kata perpisahan atau surat untuk dikirimkan. Tak kubuat juga puisi mengiris hati. Sudah cukup semua. Bahkan kita tak perlu kata pengantar. Tamat.
Bekasi, 19 Februari 2011
@mentarimeida
Tamu
ada yang datang (lagi)
mengetuk pintu
menerbitkan riak di perutku
ini rindu
ada yang hadir
di ruang tamu
dalam hatiku
kamu.
Bekasi, 12 Februari 2011
@mentarimeida
Tidak Lelahkah Kau
: Shanti Hapsari
telah kutanyakan padamu
tidak lelahkah kau
menjadi pokok berbunga
yang setia mematung saja
di tepi jalan sepi itu
menanti pengembara yang berjalan
setiap hari di sana
tanpa memandang kembangmu
karena ia lurus saja mencari
matahari yang jelas bersinar
sementara ranting-rantingmu
serupa jari-jari berdoa
meski sudah kau palangi gerbangmu
dan pintumu pun kau kunci
ia menyelinap kedalam mimpimu
lewat lubang galian pencuri*
tidakkah baiknya kau
mempusarai saja mimpi
lalu tetap terjaga
letihlah, sayang,
menjadi rumput yang diam-diam
memandangi punggung langit
cari saja embun
yang membasuh tiap lukamu
setia hingga pagi
atau serangga yang senang hinggap
membuatmu tertawa hingga petang
pada saat mentari terbenam, awan berarak bagai bendera
aku pun mulai merenung:
apa pula makna mencintai seseorang yang di luar raih tanganku ini**
Bekasi, 22 Januari 2011
@mentarimeida
Rendevous - Cintamu di Jogjakarta
Barangkali aku bayi yang baru lahir dari rahim dunia
Masih buta, masih meraba
Jadi, jangan kau tanya tentang cinta
Cintamu yang abadi di Jogjakarta,
Telah tiada
Ini Jakarta!
Jangan kau harap bayang-bayangnya menjelma padaku
Besok pagi ketika mataku menatap cahaya,
lalu kau bilang cinta selamanya
Pertemuan kita sederhana, tiba-tiba
Aku masih mengais mencari susu di payudara ibuku
Bukan kupu-kupu yang rekah dari kepompongnya
Lalu terbang sendiri, tergesa
Mataku baru hendak menatap dunia
Masih hendak berkelana
Jangan kau tawarkan cinta
Membelenggu kakiku yang bahkan baru hendak merangkak
Mengapa kau tak kembali saja
Ke makamnya, mencari jasadnya
Mungkin esok senja mampu kau temukan jiwanya
Yang mencintaimu segenap raga
Pertemuan kita biasa saja
Tidak ada gejala yang mampu menimbulkan cinta
Pulanglah...
Malam sudah tiba
Ini Jakarta
Aku masih ingin terlelap dalam hangat
dekapan dada ibuku
15 Maret 2009
@mentarimeida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Tak ada lagi yang mengetuk pintu. Tak usah kau tunggu, menanti. Sementara aku bukan sekadar terlambat pulang, tapi lupa jalanan yang biasa dilalui denganmu, yang menderu itu. Resahku begitu tersesat namun sahaja cinta yakin kemana menuju. Tau yang kumau.
Ia hanya tak ingin pulang kerumah dimana kau menunggu gelisah.
Jakarta, 25 February 2011
@mentarimeida
Tamat
Ketika kita tinggal memori,
tak perlu ada lagi penantian tak berbatas waktu yang kau tunggu meski kau bisa, selain ajal. Pintu kututup rapat sudah. Mengintip pun angin tak kuasa. Pengap memang. Tapi hati yang lama terpenjara bernafas lega, akhirnya tak risau dikerubung gema pertanyaan yang tak pernah berujung pada jawab. Lagu mana yang harus diputar, mengantarkan engkau pulang. Aku tak pernah diajarkan, mungkin seharusnya menjadi kebiasaan masa depan, menyiapkan kata perpisahan atau surat untuk dikirimkan. Tak kubuat juga puisi mengiris hati. Sudah cukup semua. Bahkan kita tak perlu kata pengantar. Tamat.
Bekasi, 19 Februari 2011
@mentarimeida
Tamu
ada yang datang (lagi)
mengetuk pintu
menerbitkan riak di perutku
ini rindu
ada yang hadir
di ruang tamu
dalam hatiku
kamu.
Bekasi, 12 Februari 2011
@mentarimeida
Tidak Lelahkah Kau
: Shanti Hapsari
telah kutanyakan padamu
tidak lelahkah kau
menjadi pokok berbunga
yang setia mematung saja
di tepi jalan sepi itu
menanti pengembara yang berjalan
setiap hari di sana
tanpa memandang kembangmu
karena ia lurus saja mencari
matahari yang jelas bersinar
sementara ranting-rantingmu
serupa jari-jari berdoa
meski sudah kau palangi gerbangmu
dan pintumu pun kau kunci
ia menyelinap kedalam mimpimu
lewat lubang galian pencuri*
tidakkah baiknya kau
mempusarai saja mimpi
lalu tetap terjaga
letihlah, sayang,
menjadi rumput yang diam-diam
memandangi punggung langit
cari saja embun
yang membasuh tiap lukamu
setia hingga pagi
atau serangga yang senang hinggap
membuatmu tertawa hingga petang
pada saat mentari terbenam, awan berarak bagai bendera
aku pun mulai merenung:
apa pula makna mencintai seseorang yang di luar raih tanganku ini**
Bekasi, 22 Januari 2011
@mentarimeida
Rendevous - Cintamu di Jogjakarta
Barangkali aku bayi yang baru lahir dari rahim dunia
Masih buta, masih meraba
Jadi, jangan kau tanya tentang cinta
Cintamu yang abadi di Jogjakarta,
Telah tiada
Ini Jakarta!
Jangan kau harap bayang-bayangnya menjelma padaku
Besok pagi ketika mataku menatap cahaya,
lalu kau bilang cinta selamanya
Pertemuan kita sederhana, tiba-tiba
Aku masih mengais mencari susu di payudara ibuku
Bukan kupu-kupu yang rekah dari kepompongnya
Lalu terbang sendiri, tergesa
Mataku baru hendak menatap dunia
Masih hendak berkelana
Jangan kau tawarkan cinta
Membelenggu kakiku yang bahkan baru hendak merangkak
Mengapa kau tak kembali saja
Ke makamnya, mencari jasadnya
Mungkin esok senja mampu kau temukan jiwanya
Yang mencintaimu segenap raga
Pertemuan kita biasa saja
Tidak ada gejala yang mampu menimbulkan cinta
Pulanglah...
Malam sudah tiba
Ini Jakarta
Aku masih ingin terlelap dalam hangat
dekapan dada ibuku
15 Maret 2009
@mentarimeida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Ini :
-@mentarimeida,
cinta,
Jogjakarta,
kau,
lelah,
Lupa,
pulang,
Rendevous,
tamat,
tamu
Sabtu, 04 Mei 2013
Kukubur Kenangan
gambar: fos-community.com |
Kukubur Kenangan
ada lubang yang kugali
untuk kuburmu
pada suatu pagi yang benderang
dan hangat. tapi getir hatiku
ku berlari ke belakang
masa silam
mengumpulkan segala kenangan
tentangmu
pertemuan dalam ruang
di sebuah persimpangan maya
ketika hatimu puing
dan tak tahu ingin kemana
ketika namaku disebut
yang ternyata pernah juga
kau berikan untuknya
lalu segala cerita juga tawa
kekesalan malam-malam kita
juga gelak sebab kelakar mesra
untuk apa kuletakkan lagi semuanya
dalam kotak kaca
yang selalu kupandangi ketika
rindu hinggap di atas genting
hujan telah menciptakan sungai
mengalir deras di pipiku
peti kayu telah kusiapkan
yang akan membusuk seiring waktu
melebur pada ragamu bersamaan
kuletakkan segala kenangan di dalamnya
kuburmu siap, sayang
telah kugali, tanganku sendiri
kenangan akanmu
kulupakan
lelaplah kau bersama rahasia
yang kau buat hanya untuknya
Jakarta, 12 Mei, 2011
@mentarimeida
Kuhapus Jejakmu
kuhapus jejakmu dalam malam
tanpa perlu ada lagi yang kita simpan dalam ingatan
kau pekat
jauhlah jauh
merayap pada dinding
kelam
sementara jam henti berdetik
Jakarta, 10 Mei, 2011
Kuhapus Jejakmu
kuhapus jejakmu dalam malam
tanpa perlu ada lagi yang kita simpan dalam ingatan
kau pekat
jauhlah jauh
merayap pada dinding
kelam
sementara jam henti berdetik
Jakarta, 10 Mei, 2011
@mentarimeida
Nama Pada Batu Nisan
kau hanya nama pada batu nisan
yang kadang kuziarahi,
kutangisi kepergiaannya
kau hanya nama pada batu nisan
diam dan dingin
meski kuasini dengan hujan
airmata
kau hanya nama pada batu nisan
tempat terkubur segala memori
makam sakit hati
Jakarta, 3 Mei 2011
Nama Pada Batu Nisan
kau hanya nama pada batu nisan
yang kadang kuziarahi,
kutangisi kepergiaannya
kau hanya nama pada batu nisan
diam dan dingin
meski kuasini dengan hujan
airmata
kau hanya nama pada batu nisan
tempat terkubur segala memori
makam sakit hati
Jakarta, 3 Mei 2011
@mentarimeida
Sebuah Perjalanan
apa yang kau ingat di belakang
setelah jejakmu satu-satu menghilang
dalam sebuah perjalanan
tubuh yang lunglai atau jiwa
yang berbahagia
sementara kesunyian terus begini
apa lagi yang kau mau
semoga jalan tak sesat
dan kau masih ingat pulang
Jakarta, 29 April, 2011
Sebuah Perjalanan
apa yang kau ingat di belakang
setelah jejakmu satu-satu menghilang
dalam sebuah perjalanan
tubuh yang lunglai atau jiwa
yang berbahagia
sementara kesunyian terus begini
apa lagi yang kau mau
semoga jalan tak sesat
dan kau masih ingat pulang
Jakarta, 29 April, 2011
@mentarimeida
Rindu
Pagi, Tuhanku pencipta segala rasa, juga rindu. Semalaman seharian rasa melayang pada sang petualang. Apa kabarnya, wahai Tuhan Yang Maha Tahu? Adakah aku yang pertama di pelupuk matanya pagi ini? Atau ia terlelap masih. Sehingga selamat pagi yang biasa luput.
Manis madu suaranya malam itu. Angin yang sepoi membelai wajahku yang rona merah jambu. Malu juga rindu. Adakah ia tahu?
Duhai.
Apa gerangan dalam hati. Namanya saja yang berkumandang. Tapi belum selesai senyum kurakit, seperti layang-layang, ia sudah terbang. Putus ditangan yang abai menggenggam benang.
Jakarta, 6 April 2011
Rindu
Pagi, Tuhanku pencipta segala rasa, juga rindu. Semalaman seharian rasa melayang pada sang petualang. Apa kabarnya, wahai Tuhan Yang Maha Tahu? Adakah aku yang pertama di pelupuk matanya pagi ini? Atau ia terlelap masih. Sehingga selamat pagi yang biasa luput.
Manis madu suaranya malam itu. Angin yang sepoi membelai wajahku yang rona merah jambu. Malu juga rindu. Adakah ia tahu?
Duhai.
Apa gerangan dalam hati. Namanya saja yang berkumandang. Tapi belum selesai senyum kurakit, seperti layang-layang, ia sudah terbang. Putus ditangan yang abai menggenggam benang.
Jakarta, 6 April 2011
@mentarimeida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Ini :
-@mentarimeida,
batu,
hapus,
Jejak,
Kenangan,
kubur,
nama,
nisan,
perjalanan,
rindu
Jumat, 03 Mei 2013
Di Pantaiku
gambar: kantonglaci.blogspot.com |
(1) Di Pantaiku
tak perlu kau mengerti tiap butir pasir di pantaiku
atau coba membaca debur ombak yang mengirimmu
di sana
rebah saja, bersarang
kupeluk kau selamanya
Jakarta, 20 Juni, 2011
atau coba membaca debur ombak yang mengirimmu
di sana
rebah saja, bersarang
kupeluk kau selamanya
Jakarta, 20 Juni, 2011
@mentarimeida
(2) Seperti Angin
dan kamu tiba-tiba saja menjelma angin sore, menyapa daun-daun tua yang kesepian, menguning dan hampir gugur di pucuk dahan itu. helai-helai daun yang hampir kehilangan percaya, tak berdaya.
seperti juga angin, kau mengantarkan sejuk, hingga aku senang berdansa dalam bola matamu yang serupa kolam. tak habis-habis menggenang, bayangku padamu.
seperti juga angin, kau mengantarkan sejuk, hingga aku senang berdansa dalam bola matamu yang serupa kolam. tak habis-habis menggenang, bayangku padamu.
Friday, June 10, 2011@mentarimeida
Wednesday, June 1, 2011
(3) Kereta
bukan kah kita selalu menunggu di stasiun, menanti kereta yang datang. lalu kau bilang tak mengerti tentang kisah perjalanan kereta yang datang, menjemput sekaligus menjauhi. kita menunggu kereta yang satu tujuan. tapi mungkin saja ditengah perjalanan ada kisah yang harus diputuskan, sehingga sebelum pagi datang lagi kita sudah berbeda arah. entah kau yang turun lebih dahulu di stasiun depan, atau mungkin juga aku.
Wednesday, June 1, 2011
@mentarimeida
(4) Mentari Akhir Mei
kutinggalkan saja biru
perjalanan lalu
di senjasenja yang terbakar
meluruhlah segala tangis
rupamu
biar terbenam jingga
membawa kisah
"esok pagi juga datang lagi," katamu
mengirim burung bernyanyi
percaya saja
menutup cerita
denganmu
semoga berbahagia
Jakarta, 31 Mei, 2011
perjalanan lalu
di senjasenja yang terbakar
meluruhlah segala tangis
rupamu
biar terbenam jingga
membawa kisah
"esok pagi juga datang lagi," katamu
mengirim burung bernyanyi
percaya saja
menutup cerita
denganmu
semoga berbahagia
Jakarta, 31 Mei, 2011
@mentarimeida
(5) Di Kotamu Semoga Kau Ingat Aku
Kutitipkan cinta di kantung kemejamu. Dekat ke dadamu. Hati. Semoga terus berdegup seiring detak jantungmu. Lalu kau ingat aku. Di kotamu.
Semoga tak luntur katunmu yang biru. Menyerap peluhpeluh perjalanan. Cinta yang kusisipkan itu akan mengerti. Merasai juga aku. Bekal untukmu membahagiakan nanti.
Bekasi, 21 May, 2011
Semoga tak luntur katunmu yang biru. Menyerap peluhpeluh perjalanan. Cinta yang kusisipkan itu akan mengerti. Merasai juga aku. Bekal untukmu membahagiakan nanti.
Bekasi, 21 May, 2011
@mentarimeida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)