small

Tampilkan postingan dengan label -Horison Online-. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label -Horison Online-. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Juni 2014

Yang Tak Selesai

Yang Tak Selesai
Ditulis oleh Budhi Setyawan
ada yang tak selesai kubaca
sisa lumar senyummu
di kaca jendela kereta
ketika engkau menuju rimba misteri
memekik terdiam pagi ini
*
ada yang tak selesai kutanya
merah matamu membelaiku
sembab bergantung telah cerita
ditingkah isak irama
mengepung risau terbata-bata
*
ada yang tak selesai kulukis
segerombolan kenangan di belukar silam
terburu perih memaksa pulang
lepas sendi-sendi angan
mengadu muram kepada hujan
*
Jakarta, 22 April 2007



Tinggalkan Disini
Ditulis oleh Budhi Setyawan 

tinggalkan di sini sesobek senja
biar kuciumi
semampai jingga
*
tinggalkan di sini secarik malam
biar kutiduri
segaris dingin
*
tinggalkan di sini seiris mimpi
biar kurenangi
sebait ilusi
*
tinggalkan di sini seutas sepi
biar kususuri
seranting arti
*
Jakarta, 19 Mei 2007


Sumber: horisononline.or.id

Rabu, 11 Juni 2014

Masa Lalu

Masa Lalu
Ditulis oleh Akbar Kasmiati


Dia hanya anak haram yang bersembunyi dalam rahim waktu
sayatannya masih meninggalkan luka
*
Dia hanya iblis dari teks kaku yang tuli dan bisu
petuahnya membawa bencana
*
Dia hanya ingin mengukur hingga sejauh mana
engkau telah meninggalkan perih yang berjejak darah dan air mata




Rindu
Ditulis oleh Akbar Kasmiati


Kusulam kenangan tentangmu
lalu kukenakan untuk menghalau
hawa sepi selepas engkau pergi
*
Sesekali kuteguk asa akan hadirmu
yang entah mengapa
hingga kini masih hangat
*
Kuhirup jejak aroma tubuhmu di udara
hingga menuntunku menatap kembali
seutas senyummu pada sebuah pigura
*
Komposisi saigon reunion Kitaro dari radio
memantik ingatanku tentang seekor gagak
bertengger di tiang listrik yang berlatar senja berkabut
sedang melantunkan sekuntum mawar yang gugur
*
Ibu, akan kurawat ini rindu
meski namamu telah terukirpada sebongkah nisan


Sumber: horisononline.or.id

Rabu, 04 Juni 2014

Sekantong Luka Dari Seorang Ibu

Sekantong Luka Dari Seorang Ibu

Ditulis oleh Irianto Ibrahim


supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai terjauh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri. ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesenggukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang di kemudian hari akan ia larung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefenisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka, ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.


Kendari, 2009

Rabu, 25 September 2013

Abu dan Asap Rokok

Abu dan Asap Rokok

Ditulis oleh Fitri Yani 


lemah tatapan abu kepada asap rokok itu
seperti hujan yang melepaskanku dari pelukanmu
di separuh tubuh yang masih menyala
ada gemuruh dahaga yang meronta
hingga jatuhlah engkau yang tak lagi utuh
menarilah aku, asap yang tak ingin menetap
tak akan kusalahkah sang api
ketika sebatang tubuh itu
perlahan kehilangan raga
sehingga terciptalah kita
karena bagi sang apilah
maaf dan restuku tertuju
bukankah kita pernah berjanji akan setia, katamu
namun aku tak pernah yakin kita akan utuh
dalam satu tubuh
kau atau pun aku mau tak mau
mesti merelakan segalanya menjadi kewajaran
mungkin kau tak akan lagi merasa lengkap
setelah jatuh di lantai yang mengkilap
tapi itu hanya akan terasa sebentar, percayalah
ada peristiwa lain yang akan mengembalikanmu
kepada tanah, tempat yang lebih sabar
ketimbang altar biara yang menampung semua doa
sementara aku,
akan segera lenyap di dingin pagi
nanti, saat aku telah tiba di awan, akan kubujuk hujan
agar menemuimu yang telah menyatu dengan tempat lain
kau selalu diam dalam sejarah masa silam, mengapa?
adakah hujan jatuh pada musim yang salah, tuan?
Bandarlampung, Juli 2009

Rabu, 18 September 2013

Nama-nama dan Ingatan

Nama-nama dan Ingatan

Tiba-tiba begitu sulit mengingat namamu
padahal aku telah berada dalam tubuhmu. Kuhafal
benar suaramu, berlarian dan bergelantungan
di daun telinga dan kedua lenganku. Sering
tiba-tiba kau mematikan lampu dan bertanya

Siapa namamu?

Maka diamlah gelap
biar kuurai lubuk tubuhmu
agar nama-nama bebas dari ingatanku

Ke dataran jauh aku menghembus
membakar seluruh pakaian, sepatu, dan mantel
hujan yang pernah kukenakan. Kubiarkan asapnya
menyelubungi ingatan seolah leluhur
yang mengelilingiku

Suaramu menggema di lantai dasar sebuah hotel
sejenis erang yang membuat selimutku basah
dan tubuhku menjadi demam. Sekali lagi
kau mematikan lampu dan bertanya,

Siapa namamu?

Maka diamlah tubuh
biar kuurai seluruh ingatan, memisahkan
nama-nama dari hasrat yang menamainya
memulangkannya ke dalam suaramu
yang berlarian dan bergantungan
di daun telinga dan  kedua
lenganku

2010

Rabu, 11 September 2013

Kuketuk Diammu


Kuketuk Diammu

Ditulis oleh Budhi Setyawan

pagi baru mengetuk hari
ketika tiba-tiba Jakarta mendekapku lekat
sebentar, aku membuang sengal

mana janjimu kemarin?
janji apa?
tentang rindumu yang kaulukiskan di sepanjang trotoar

ya rinduku pontang-panting terpelanting
digulung asap dan karat zaman

kini tengah kucari serpih-serpihnya
pada tawa gedung-gedung tinggi
tapi malah kuteriris runcingnya

mari ke kolong tol
mewarnai kanvas waktu
dengan harum sampah dan kudis luka

Jakarta, 6 September 2007

Rabu, 04 September 2013

Tinggalkan Disini


Tinggalkan Disini
Ditulis oleh Budhi Setyawan


tinggalkan di sini sesobek senja
biar kuciumi
semampai jingga

tinggalkan di sini secarik malam
biar kutiduri
segaris dingin

tinggalkan di sini seiris mimpi
biar kurenangi
sebait ilusi

tinggalkan di sini seutas sepi
biar kususuri
seranting arti

Jakarta, 19 Mei 2007

Rabu, 28 Agustus 2013

Yang Tak Selesai


Yang Tak Selesai

Ditulis oleh Budhi Setyawan

ada yang tak selesai kubaca
sisa lumar senyummu
di kaca jendela kereta
ketika engkau menuju rimba misteri
memekik terdiam pagi ini

ada yang tak selesai kutanya
merah matamu membelaiku
sembab bergantung telah cerita
ditingkah isak irama
mengepung risau terbata-bata

ada yang tak selesai kulukis
segerombolan kenangan di belukar silam
terburu perih memaksa pulang
lepas sendi-sendi angan
mengadu muram kepada hujan

Jakarta, 22 April 2007

Rabu, 21 Agustus 2013

Pesan Ranting untuk Daun yang Gugur

Maka akan aku lepaskan kau
Biar tubuhmu bebas berlayar
Aku titipkan bekal
Biar rindumu tak undang sesal

Bukan berarti aku tak sayang
Sebab nafasmu adalah nyawa
Bukan berarti aku tak cinta
Sebab adamu aku sempurna

Simpan saja keluh dan ragu
Simpan juga dendang cemburu
Di sini akan aku tunggu
Ruhku berpekap erat pada ruhmu

Percut, 12 Juli 2012