1. Firman hujan
Sekiranya kita simpan hujan
Tak ada jua yang melarang
Pun kusimpan senyummu
Masihkah ada yang berang
Hujan berfirman pada basah tanah angin mendesah
Jatuh cinta adalah ibadah yang sempurna
Disana ada malaikat yang berdoa
dengan rekah senyum Tuhan di kursinya
Hujan pun bersabda
Jatuh rindu itu, sengatan listrik yang menggelikan
Tak peduli sesaknya dada, apalagi senyum yang tak diundang
dengan tangan mendekap, denyut di dada
manalagi yang kau dustakan
maha benar hujan yang mengingatkanku padamu
rintik hujan mengetuk jendela
dan tengoklah drama gemuruh
dapatkah kau lihat manusia berpayung itu?
2. Aku!
Aku, aku bukan Chairil,
Dia yang ingin hidup seribu tahun lagi
Apalagi binatang jalang
Aku, jelas bukan Chairil.
Karena aku
Ingin mencintaimu lebih dari seribu tahun
Melewati batas usia dunia
Tak perlu menerjang
Hanya perlu merindu
Bagian jalan menyayangimu
Aku,
Yang tak menangis saat keluar dari rahim ibu
Tapi mengelu menyebut namamu
Dia yang ingin hidup seribu tahun lagi
Apalagi binatang jalang
Aku, jelas bukan Chairil.
Karena aku
Ingin mencintaimu lebih dari seribu tahun
Melewati batas usia dunia
Tak perlu menerjang
Hanya perlu merindu
Bagian jalan menyayangimu
Aku,
Yang tak menangis saat keluar dari rahim ibu
Tapi mengelu menyebut namamu
3. Pulang
Kecuali pulang, hendak kemanakah dirimu saat merasa ada yang hilang. Selain pulang, kearah manakah aku berhenti bertualang.
Kau dan aku mungkin juga hanyalah pertemuan tak sengaja saat memilih pulang. Biarkan semua berjalan tanpa penghalang. Kita berjalan saling menunjuk alamat pulang. Semoga kelak di antara kita datang menggandeng untuk sebuah rute baru dalam bertualang.
Kemanapun aku beranjak, dimanapun kamu berpijak, juga bagaimanapun kita berjejak, pulang adalah memeluk ingatan.
Apabila air mata adalah cinta, maka tangisku adalah merindu wajah ibu lewat harihari yang berlalu. Dengan kata lain, tangisku pada dirimu hanyalah melafal sajak ibu menuju dekapanmu. Saat kau dan ibu menyatu dalam dingin, rumah ibu menjadi alamat pulang penuh ilalang kerinduan, rumahmu pun menjadi alamat pulang yang hendak tercatat dalam doa ibu.
Pulang, hanyalah jalan lurus. Membuatku terus menerus menghapus masa lalu. Menggerus kisahkisah rakus yang terserat arus. Aku tak ingin hangus, sebab itu aku kembali pada asal muasal segala ritus.
Pulang, lewati banyak simpang. Mengajarkanku hikmah cinta dari derita berulang. Merapikan kisah usang menjadi cemerlang. Aku ingin semuanya terang, sebab itulah simpang diciptakan. Ketika jalanjalan saling silang, aku memecah karang mencium elang yang terbang. Demikian aku kembali, kemanakah kau berlalu, tetap saja kita akan mengetuk satu pintu.
Aku datang, aku memerlukan pulang, demikianlah aku kembali ketika mulai banyak halang.
Aku datang, aku membayangkan pulang, demikianlah kiranya rindu semakin menggebu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar