gambar: puisigalau.net |
Pusara Cinta
cinta
kita
menggali makam sendiri
mencari liang untuk kita tiduri nanti
pada masa yang paling abadi
pada tanah merah
yang kadang basah atau kerontang
kita tentu mencari selimut yang paling nyaman untuk menemani
sehingga nanti kita bisa indah bermimpi
rasa masih begini anomali
nama kita tak akan mengukir lagi
di nisan yang sama
kita sudah sampai di sini
aku akan mengenang, menziarahi
sekadar mempusarai
kita pernah sehati
-Dalam perjalanan ke Depok, 11 Desember 2010-
Mentari Meida
Kita Adalah Nol
kau tidak akan kehilangan
sebab kita tidak pernah punya apa-apa
tak ada yang (sungguh-sungguh) datang
dan pergi
kita tak kan pernah kehilangan
semua milikNya
milikNya
kita adalah nol
Jakarta, 3 desember 2010Mentari Meida
Aku Menulis Namamu Di Gerimis
aku menulis namamu di gerimis*
pada hujan yang turun malam-malam
atau datang kepagian
supaya kau jatuh, membaur
bersama genangan
aku menulis namamu di gerimis
biar kau mengalir
pergi jauh ke muara
pulang saja ke asalmu!
Jakarta, 2 Desember 2010
Mentari Meida
Jika Aku Ucapkan Selamat Tinggal
mungkin aku akan merindukanmu, suatu hari
ketika langit cerah. menanyai hati sendiri
bagaimana kabarmu hari ini?
mungkin aku akan merindukan kotamu
suasananya, petang yang kita gemari
atau pagi-pagi yang kita sambut dengan senyuman
aku pasti merindukan Ibu, yang selalu mendoakan
kebahagiaan kita. yang selalu mengusap ubun-ubunku
pelan-pelan setelah ia membuat Salib
antara dahi, dada, dan bahunya
mengucapkan doa-doa kristiani
yang entah bagaimana pun caranya
ia hanya mendoakan kita
jika aku mengucapkan selamat tinggal
mungkinkah kau menjadi lebih bahagia?
mungkinkah aku menyesal?
mungkinkah?
mungkin.
Jakarta, 30 November 2010 Mentari Meida
Menunggu Waktu
kita seperti menunggu waktu
menunggu, menunggu, tanpa tuju
sementara detik detik setia, seperti tak ada habisnya
mengukir kenangan kita
yang mungkin nanti tersisa
sementara kita hanya menunggu
seperti sebuah kebodohan
tapi seseorang berkata, "kau hanya ketakutan."
ketakutan yang memenjarakan
membuang-buang waktu pada yang (mungkin) menunggu di luar sana.
sayang, kita hanya menunggu karena ketakutan
yang begitu tak terkira. sementara kau kira laju?
padahal kita berjalan di tempat, dalam kabut lindap
dalam gelap tak berpelita, tanpa arah tujuan
Jakarta, 2 November 2010 Mentari Meida
Alamatpada bayu menderu
kutitipkan pesan
suatu pagi adakah kau dengar
gemerisik dedaunan lepas
sampaikah ia di alamatmu?
Kita Adalah Nol
kau tidak akan kehilangan
sebab kita tidak pernah punya apa-apa
tak ada yang (sungguh-sungguh) datang
dan pergi
kita tak kan pernah kehilangan
semua milikNya
milikNya
kita adalah nol
Jakarta, 3 desember 2010Mentari Meida
Aku Menulis Namamu Di Gerimis
aku menulis namamu di gerimis*
pada hujan yang turun malam-malam
atau datang kepagian
supaya kau jatuh, membaur
bersama genangan
aku menulis namamu di gerimis
biar kau mengalir
pergi jauh ke muara
pulang saja ke asalmu!
Jakarta, 2 Desember 2010
Mentari Meida
Jika Aku Ucapkan Selamat Tinggal
mungkin aku akan merindukanmu, suatu hari
ketika langit cerah. menanyai hati sendiri
bagaimana kabarmu hari ini?
mungkin aku akan merindukan kotamu
suasananya, petang yang kita gemari
atau pagi-pagi yang kita sambut dengan senyuman
aku pasti merindukan Ibu, yang selalu mendoakan
kebahagiaan kita. yang selalu mengusap ubun-ubunku
pelan-pelan setelah ia membuat Salib
antara dahi, dada, dan bahunya
mengucapkan doa-doa kristiani
yang entah bagaimana pun caranya
ia hanya mendoakan kita
jika aku mengucapkan selamat tinggal
mungkinkah kau menjadi lebih bahagia?
mungkinkah aku menyesal?
mungkinkah?
mungkin.
Jakarta, 30 November 2010 Mentari Meida
Menunggu Waktu
kita seperti menunggu waktu
menunggu, menunggu, tanpa tuju
sementara detik detik setia, seperti tak ada habisnya
mengukir kenangan kita
yang mungkin nanti tersisa
sementara kita hanya menunggu
seperti sebuah kebodohan
tapi seseorang berkata, "kau hanya ketakutan."
ketakutan yang memenjarakan
membuang-buang waktu pada yang (mungkin) menunggu di luar sana.
sayang, kita hanya menunggu karena ketakutan
yang begitu tak terkira. sementara kau kira laju?
padahal kita berjalan di tempat, dalam kabut lindap
dalam gelap tak berpelita, tanpa arah tujuan
Jakarta, 2 November 2010 Mentari Meida
Alamatpada bayu menderu
kutitipkan pesan
suatu pagi adakah kau dengar
gemerisik dedaunan lepas
sampaikah ia di alamatmu?
Thursday, October 14, 2010Mentari Meida
Ombak dan Perahu Kertas
aku titipkan duka pada laut
biar ia mengambang, timbul tenggelam
kamu adalah ombak
nanti datang nanti menghilang
aku perahu kertas
berlayar tanpa arah
mengikutimu saja
kadang karam kadang menerjang
bawa aku dengan arusmu
yang kencang dan tajam
sampaikan aku pada daratan
biar nanti di sana kutinggalkan
semua luka-luka
mengering
terlupakan
Ombak dan Perahu Kertas
aku titipkan duka pada laut
biar ia mengambang, timbul tenggelam
kamu adalah ombak
nanti datang nanti menghilang
aku perahu kertas
berlayar tanpa arah
mengikutimu saja
kadang karam kadang menerjang
bawa aku dengan arusmu
yang kencang dan tajam
sampaikan aku pada daratan
biar nanti di sana kutinggalkan
semua luka-luka
mengering
terlupakan
Friday, August 20, 2010
Mentari Meida
Sumber: perempuanbulanmei.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar